hikayat shinta

Aku ingin bercerita sesuatu kepada kalian. Peristiwa ini terjadi berpuluh tahun yang lalu, ketika itu aku masih seorang perawan lugu dari desa. Aku adalah anak dari seorang mpu yang tinggal di satu desa di tengah hutan. Bisa dikatakan, bapa adalah salah satu tetua desa tersebut.

Suatu hari ada dua orang pemuda yang singgah ke desa. Entah karena apa, kedua pemuda tadi bermaksud untuk menjadi murid, dan menimba ilmu dari bapa. Aku tidak tahu, sebab setahuku, bapa tidak pernah mengambil murid untuk diajarkan ilmu yang dimilikinya. Bapa hanyalah seseorang yang dituakan oleh warga desa, dan sehari-harinya bapa hanya membuat keris atau senjata tajam lainnya.

Akhirnya kutahu bahwa dua orang pemuda tersebut bernama Ram dan Laks. Dan keduanya bersaudara. Keduanya sama pendiam, anteng dan gagah. Laks begitu penurut dan patuh pada apapun yang dikatakan dan diperintahkan oleh kakaknya, Ram. Begitu juga dengan Ram, ia begitu menyayangi adiknya.

Hampir 10 tahun lamanya mereka berguru pada bapa. Hingga akhirnya, Ram memberanikan diri untuk meminangku, untuk dijadikan sebagai istrinya. Bapa tidak menolak juga tidak mengiyakan permintaan Ram. Semua dikembalikan padaku.

“Karena kau yang akan menjalaninya, maka kau yang harus mengambil keputusan. Bapa percaya, kau lebih tahu apa yang terbaik untukmu”, kata bapa.

Tentu saja hal ini membuatku bingung. Karena sebenarnya selama ini aku sudah memiliki seseorang yang telah mengisi hatiku. Hanya karena ia tidak pernah bisa selalu datang menemuiku, bahkan sudah beberapa waktu ini ia tidak pernah lagi menghubungiku, sehingga tak heran jika banyak orang yang mengira kalau aku masih sendiri. Sebenarnya aku juga sudah banyak mendengar kabar kalau ia sudah berpaling ke gadis yang lain, tapi karena aku tidak mengetahuinya sendiri maka aku tidak bisa begitu saja dengan mudah percaya.

Aku mengambil sikap. Untuk menerimanya, aku memberikan syarat padanya, yaitu untuk membuatkanku sebuah candi dengan 100 buah arca dalam waktu sehari semalam. Tanpa ragu Ram menyanggupi. Dan aku yakin, tentunya dengan bantuan Laks.

Sehari semalam mereka berdua bersemadi. Hingga akhirnya di pagi hari ketika bangun dari tidur, aku sudah melihat ada sebuah bangunan candi yang begitu megah dan anggun, lengkap dengan 100 buah arca-nya. Karena sudah terlanjur berjanji, akhirnya aku menurut saja apa permintaan Ram. Dan aku diboyong pulang ke rumahnya.

Mungkin kalian akan membayangkan betapa romantisnya kami berdua. Salah! Salah besar! Karena ternyata Ram tidak begitu romantis. Bahkan ia cenderung membosankan. Benar-benar membosankan! Bayangkan, ia tidak pernah menyentuh sedikitpun tubuhku. Jangankan untuk mencium atau bercumbu, menyenggol saja ia tidak pernah.

Pernah aku berpura-pura sakit, dengan maksud agar Ram memperhatikan lalu menyentuhku. Tapi apa yang kuperoleh? Ram hanya meminta kepada Laks untuk merawat dan menjagaku. Itu saja. Menyebalkan! (Inikah kelak, laki-laki yang akan menjadi suamiku? Apakah aku harus bersamanya dalam suasana seperti ini seumur hidupku?).

Sesampai di rumah, ternyata Ram dan Laks sudah disambut oleh seluruh anggota keluarga besarnya. Dan untuk mengawali proses pernikahan kami ada satu syarat dalam tradisi keluarga mereka yang harus kujalani, untuk menguji kesucian calon menantu mereka, yaitu dengan cara “membakar diri”. Karena menurut kepercayaan mereka, jika seseorang itu masih suci maka tubuhnya tidak akan terbakar api. Aku pasrah saja, karena memang sudah kalah janji. Walau sebenarnya agak takut juga.

Dulu aku pernah bercumbu dengan kekasihku. Walaupun aku tidak tahu, sampai saat ini aku masih suci apa tidak.

Ah, aku lupa untuk mengenalkannya pada kalian. Namanya Arok, seorang berandal di desaku. Walaupun berandalan, tapi ia sebenarnya baik hati, lembut dan tidak kalah gagah dengan Ram. Bahkan ia lebih romantis daripada Ram.

“Aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku melihatmu”, kata Arok.

Waktu itu aku hanya mengenakan jarik sehabis mandi di kali. Dia melihat betisku memancarkan sinar yang cukup terang. Sejak itu dia jatuh cinta padaku, dan sering mengirimiku bunga atau hadiah-hadiah.

Sampai ketika kudengar kabar dia berpaling dariku. Dan lebih memilih perempuan lain yang ternyata adalah istri dari seorang juragan yang mati dibunuhnya, dengan keris buatan bapa.

+++

Api sudah menyala. Suara gemeretak kayu yang terbakar terdengar nyaring di hening suasana. Beberapa tetua adat tampak berkomat-kamit melantunkan tembang-tembang yang berisi doa, yang tidak terdengar jelas dari tempatku. Yang terdengar hanya seperti dengung suara lebah. Sementara itu, beberapa orang gadis menaburkan beraneka kembang di sekitar tempat pembakaran. Melingkari api.

Aku bersiap untuk masuk ke dalam api. Aku melihat bapa duduk di samping orangtua Ram. Aku melihat bapa menyilangkan tangan di dada dan sebentar-sebentar memejamkan mata. Entah, berdoa atau pasrah. Aku tidak tahu. Aku sendiri juga tidak tahu apa yang harus kulakukan, berdoa atau diam saja.

Kulihat Ram duduk diam sambil memperhatikan. Laks tampak memejamkan mata dan sesekali mendongak ke atas dengan mata terpejam. Berdoa, mungkin.

(Ah, anak ini memang sungguh-sungguh baik hati. Beruntunglah kelak perempuan yang akan menjadi istrinya. Tapi, itu mustahil. Karena kudengar, demi mengabdikan diri pada Ram, kakaknya, Laks memilih untuk hidup seorang diri selamanya. Selibat.)

Api makin membesar, ketika tumpukan kayu ditambah. Tetua adat memberi aba-aba padaku untuk segera masuk ke dalam kobaran api. Aku memejamkan mata sebentar, berdoa, sebab hanya itu yang aku bisa.

“…wahai api, jadilah engkau pendingin dan penyelamatku…”

Aku melihat tubuhku masuk ke dalam api. Ke dalam, semakin ke dalam. Tapi anehnya, api ini tidak terasa panas. Bahkan terasa sejuk, sangat sejuk. Hawa sejuk ini kurasakan beberapa lama. Sampai api mengecil dan kayu habis terbakar, aku hanya merasakan sejuk disekelilingku. Dan tubuhku masih utuh, tidak terbakar.

Aku melihat bapa tersenyum melihatku. Aku melihat kedua orangtua Ram tersenyum. Aku melihat Ram dan Laks tersenyum. Aku melihat semua yang hadir di upacara ini tersenyum, meski ada beberapa yang menitikkan air mata, mungkin karena terharu.

Aku melihat tetua adat masih melantunkan tembang-tembang berisi doa. Gadis-gadis itu masih juga menaburkan beraneka kembang melingkari api. Upacara ini masih belum selesai.

Aku juga melihat diriku sendiri tersenyum!

+++

Demikianlah ceritaku kepada kalian. Mudah-mudahan kalian bisa memetik hikmah dari peristiwa yang kualami ini. Dan tolong ceritakan lagi kisah ini pada anak turun kalian, karena sebenarnya aku sudah tidak lagi berada disini. Aku sudah berada di tempat yang lain. Tidak bersama dengan Ram, tapi dengan Arok, kekasih, dimana telah kuserahkan mahkota kesucianku padanya.

14-15082006
Rembang, 10:58.15 am
Jpr, 08:55.20 pm

6 pemikiran pada “hikayat shinta

  1. Membaca “Hikayat Shinta”-nya Dusone, saya bagaikan tengah berpetualang di tengah rimba.Berbagai sense dan sett silih berganti berkelebat. Saya lebih fokus kearah eksplorasi sastra Dusone yang cukup berani untuk tampil beda. Perlu apresiasi yang dalam untuk memahami karya ini.Bukan hanya pada substansi, ungkapan, gaya, dan modelnya, tetap mamahami karya ini seutuhnya. Ingat kawan, bahwa karya sastra itu bersifat multi dimensional, multi interpetasi, dan tentu saja multi idealism( Wah! slow…slow…lha koq kayak kritikus tenan wae). Oke, maju terus Dusone……

  2. kalo menurut aku gini yud,tulisan apapun itu yang penting ada stimulannya,seperti pantai dengan gelombangnya bukan danau yang datar tanpa kejutan gelombang yang membuat orang bosan.jadi pintar2 memilih kata yang mengejutkan dalam kalimat yang tak dipunyai orang lain,atau gampangnya sama tujuan tapi beda jalan,tapi jangan pilih jalan yang berbelit yang membuat tersesat dan tak dimengerti orang lain…
    semua ada prosesnya,termasuk juga sy(lg coba-coba belajar)

  3. Wuih, gobang tekan kene..njarak apa kesasar?
    Mang makasi sarannya,maunya ya pake kata yg gak ‘umum’,makanya skrg lagi rajin buka kamus,sinonim,dll buat nyari kosakata yg bnyak n fresh..

Tinggalkan komentar